Catatan Penulis
Seluruh karakter dalam buku ini didasarkan atas kenyataan. Saya berusaha keras untuk menjaga kemurnian peristiwaperistiwa yang tertulis dalam buku sesuai dengan rekaman sejarah yang ada. Saya menerjemahkan atau menyalin dekrit, maklumat, dan artikel koran dari dokumen asli. Saat menemukan perbedaan penafsiran, saya mendasarkan penilaian saya pada hasil penelitian dan menggunakan perspektif menyeluruh.
Hubunganku dengan Tzu Hsi berawal pada 1902 dan terus berlanjut hingga kematiannya. Aku menyimpan catatan personal tentang hubungan rahasiaku dengan sang Maharani, juga menyimpan catatan dan pesan yang ditulis Yang Mulia pribadi kepadaku, tetapi sialnya aku kehilangan semua manuskrip dan kertaskertas tersebut.
SIR EDMUND BACKHOUSE,
coauthor buku China Under the Empress Dowager (1910) dan Annals and Memoirs of the Court of Peking (1914)
Pada 1974, (dengan) mempermalukan Oxford dan mengagetkan para ilmuwan Cina di seluruh dunia, diketahui bahwa Backhouse adalah seorang penipu... Kebohongannya memang terbongkar, tetapi bahanbahan palsunya masih tetap saja digunakan oleh para ilmuwan.
STERLING SEAGRAVE,
Dragon Lady. The Life and Legend of the Last Empress of China (1992)
Salah satu orang bijak Cina meramalkan bahwa "Cina akan dihancurkan oleh seorang perempuan " Ramalan ini tengah menuju kenyataan.
DR. GEORGE ERNEST MORRTSON,
Koresponden Times London untuk Cina, 18921912
Tzu Hsi sudah membuktikan bahwa dia bijak dan (berpandangan) ekonomis. Kepribadiannya tanpa cela.
CHARLES DENBY,
Wakil Amerika untuk Cina, 1898
Dia (Tzu Hsi) adalah biangnya kejahatan dan intrik.
Awal Mula
PADA 1852, SEORANG GADis berusia tujuh belas tahun dari keluarga terpandang tetapi miskin dari klan Yehonala tiba di Peking sebagai salah seorang selir bagi Kaisar Muda, Hsien Feng. Tzu Hsi, dikenal sebagai Anggrek saat kecil, hanyalah satu dari ratusan selir yang satusatunya impian dalam hidup mereka adalah memberikan keturunan lakilaki bagi Kaisar.
Saat itu bukanlah waktu yang baik untuk memasuki Kota Terlarang, kompleks teramat luas yang dipenuhi istana dan taman, dijalankan oleh ribuan kasim dan dikelilingi oleh tembok di pusat Kota Peking. Dinasti Ch'ing mulai kehilangan denyut nadinya. Balairung Istana sudah menjadi tempat yang picik dan sangat tertutup. Beberapa dekade sebelumnya, Cina kalah dalam Perang Opium pertama. Dan semenjak itu, ia belum juga berusaha memperkuat pertahanannya atau memperbaiki hubungan diplomatiknya dengan bangsabangsa lain.
Di dalam tembok Kota Terlarang, sedikit salah langkah sering kali berakibat maut. Sebagai seorang dari ratusan wanita yang menuntut perhatian penuh dari sang Kaisar, Angrek mengetahui bahwa dia harus mengambil kendali hidupnya sendiri. Setelah menahabiskan waktunya untuk berusaha mempelajari seni memuaskan pria, dia mengorbankan segalanya dengan menyuap jalannya untuk memasuki kamar tidur Kerajaan dan merayu Kaisar. Hsien Feng adalah lelaki bermasalah, tetapi ada saatsaat ketika cintadewi-kz di antara mereka begitu menggebu dan murni, dan tak lama, dia mendapatkan keberuntungan untuk memberinya satusatunya keturunan lakilaki dan pewaris takhta. Dengan pangkat meningkat menjadi seorang Maharani, Anggrek tetap harus berjuang untuk mempertahankan posisinya ketika Kaisar mengambil kekasih-kekasih baru. Haknya untuk membesarkan anaknya sendiri, yang berada di bawah kendali Pemaisuri Nuharoo, istri pertama Kaisar, selalu menjadi permasalahan.
Penyerangan oleh Inggris, Prancis, dan Rusia pada 1860, disusul dengan pendudukan Peking, memaksa Dewan Istana Cina bergerak menuju pengasingan di Jehol, di luar Tembok Besar. Di sana, berita memalukan tentang prasyarat berat untuk perdamaian membawa akibat semakin memburuknya kesehatan Kaisar. Dengan wafatnya Hsien Feng, muncul kudeta dalam Istana, yang berhasil dipadamkan dengan bantuan Anggrek beserta saudara iparnya, Pangeran Kung, dan jenderal Yung Lu. Si tampan Yung Lu menyalakan kembali percik asmara pada diri Anggrek yang saat itu masih sangat muda. Namun dengan kedudukan barunya, hanya terdapat sedikit kesempatan bagi Anggrek untuk memiliki kehidupan pribadi. Sebagai Wali—bersama Permaisuri Nuharoo—hingga anaknya mencapai usia matang, Permaisuri Anggrek mengawali masa kekuasaannya yang panjang dan penuh kegentingan, yang akan berlanjut hingga abad berikutnya.
1
MATA IBU TERTUTUP saat meninggalnya. Namun sejenak kemudian, dia membuka dan tetap seperti itu.
"Yang Mulia, tolong pegang kedua kelopak matanya dan usahakan sebisa mungkin untuk menutupnya," suruh Tabib Sun Paotien.
Jemariku bergetar saat berusaha melakukannya.
Saudariku, Rong, mengatakan bahwa Ibu bermaksud menutup matanya. Ibu telah menanti kedatanganku terlalu lama. Ibu tidak ingin mengganggu jalannya audiensiku.
"Usahakan tidak membebani orang lain," adalah filosofi Ibu. Dia pasti akan teramat kecewa jika mengetahui dirinya membutuhkan bantuan orang lain untuk mengatupkan kedua matanya sendiri. Aku berharap bisa mengabaikan larangan Nuharoo dan membawa anakku serta untuk menyampaikan salam perpisahan pada Ibuku. "Mestinya kenyataan Tung Chih merupakan Kaisar Cina tidak jadi masalah," aku seharusnya membantahnya. "Toh, dia adalah cucu ibuku sebelum menjadi Kaisar."
Aku beralih pada abangku, Kuei Hsiang, dan bertanya apakah Ibu meninggalkan suatu pesan untukku.
“Ya.” Kuei Hsiang mengangguk, seraya mundur untuk berdiri di sisi pembaringan lbu. “Semua baikbaik saja.”
Air mataku menggenang'.
“Upacara pemakaman seperti apa yang ingin kauadakan untuk Ibu?” tanya Rong.
“Aku tak bisa berpikir saat ini,” jawabku. “Kita akan diskusikan nanti.”
“Tidak, Anggrek,” protes Rong. “Akan sangat mustahil untuk menjangkaumu begitu kau angkat kaki dari tempat ini. Aku ingin tahu apa niatanmu. Ibu berhak mendapatkan penghormatan yang sama seperti yang diberikan pada Ibu Suri Jin.”
“Aku berharap bisa dengan mudah menjawab ya, tetapi tak mungkin. Rong, jutaan pasang mata menatap kita. Kita harus memberikan contoh.”
“Anggrek,” Rong membentak, “kau adalah penguasa Cina!”
“Rong, tolonglah. Aku yakin Ibu pasti mengerti.”
“Tidak, dia tak akan mengerti karena aku tidak bisa mengerti. Kau adalah anak yang jahat, egois, dan tak berperasaan!”
“Maafkan aku,“ Tabib Sun Paotien menyela. “Yang Mulia, bisakah aku meminta perhatian Anda untuk berkonsentrasi pada jarijari Anda? Mata Ibu Anda akan terus membuka jika Anda berhenti menekan.”
“Baik, Tabib.”
“Lebih kuat, dan terus tahan,” instruksi Tabib. “Sekarang tekan. Sudah hampir selesai. Jangan bergerak.”
Saudariku membantu menahan lenganku.
Wajah Ibu sekarang tampak tenang dan begitu jauh.
“Ini Anggrek, Bu,” bisikku sambil menangis.
Aku tidak bisa percaya dia sudah meninggal, jemariku mengelus kulit lembutnya yang masih terasa hangat. Aku rindu menyentuhnya. Semenjak aku memasuki Kota Terlarang, lbu diharuskan berlutut saat menyapaku tiap kali datang berkunjung. Dia memaksa untuk mematuhi tata cara yang ada. “Itu adalah penghormatan yang pantas kauterima selaku Permaisuri Cina,” ujarnya.
Kami jarang sekali memiliki waktu berdua. Para kasim dan dayang terusterusan mengelilingiku. Aku ragu Ibu bisa mendengarku dari tempat duduknya, sepuluh kaki jauhnya dari tempatku. Namun, tampaknya itu tidak mengganggunya. Dia berpurapura dapat mendengarkan. Dia akan menjawab pertanyaanpertanyaan yang belum kuutarakan.
“Perlahanlahan, lepaskan dari kelopak matanya,” ucap Tabib Sun Paotien.
Kedua mata Ibu tetap terpejam. Kerutan di wajahnya tampak menghilang dan air mukanya terlihat tenang.
Aku adalah gunung yang tertinggal di belakang. Suara Ibu kembali terngiang di telingaku:
Bagai sungai yang menyanyi
Begitulah engkau keluar, mengalir lepas
Bahagiaku menyaksikanmu pergi
Kenangan tentang kita
Begitu penuh dan indah.
Aku harus tegar demi anakku. Meski Tung Chih, yang saat itu berusia tujuh tahun, telah jadi Kaisar selama dua tahun sejak naik takhta pada 1861, rezimnya sangat kacau. Kekuatan asing terus merambah Cina, terutama di bandar-bandar pelabuhan; di wilayah sendiri, pemberontakan petani yang disebut Taiping telah menyebar di daerah pedalaman dan telah menguasai provinsi demi provinsi. Aku berusaha keras mencari cara untuk mendidik Tung Chih sebaik mungkin. Namun, dia tampak sangat terpukul oleh kepergian ayahnya secara mendadak. Aku hanya bisa berharap dapat membesarkannya sebagaimana kedua orangtuaku tdah membesarkanku.
“Aku adalah wanita yang beruntung,” Ibu sering kali berujar. Aku memercayainya saat dia mengatakan bahwa tak ada sedikit pun penyesalan dalam hidupnya. Dia telah meraih impiannya: kedua putrinya menikahi keluarga Kerajaan dan putranya menjabat sebagai salah seorang menteri Kerajaan berpangkat tinggi. “Kita semua hanyalah jembel pada 1852 lalu,” Ibu sering kali mengingatkan anakanaknya. “Aku tak akan pernah melupakan petang hari itu di Kanal Besar, ketika para penandu menelantarkan peti mati Ayah kalian.”
Panas teriknya hari itu dan bau busuk yang menyebar dari mayat ayahku juga terus menghantuiku. Raut muka Ibu saat dengan terpaksa menjual perhiasan terakhirnya, jepit rambut giok yang merupakan hadiah pernikahan dari Ayah, adalah raut tersedih yang pernah kulihat.
Sebagai istri pertama Kaisar Hsien Feng, Permaisuri Nuharoo menghadiri penguburan ibuku. Aku berjalan di belakangnya, berhatihati untuk tak menginjak ekor jubahnya yang panjang. Nyanyian para biksu Tibet, juga para pendeta Tao dan Buddha, mengikuti kami. Sambil beriringan memasuki Kota Terlarang, kami terusmenerus berhenti untuk melakukan ritual demi ritual saat melewati gerbanggerbang dan temboktembok.
Berdiri di samping Nuharoo, aku kagum pada hubungan kami yang akhirnya terjalin cukup harmonis. Perbedaan di antara kami sudah amat jelas, semenjak kali pertamanya kami memasuki Kota Terlarang sebagai gadis muda. Dia—begitu anggun, percaya diri, dan dari keturunan ningrat—telah terpilih sebagai Istri Pertama Kaisar, sang Maharani; aku sendiri—dari keluarga baik-baik tetapi hanya itu, dari bangsa sendiri tetapi tak jelas—menjadi selir dari tingkat keempat. Perbedaan antara kami tumbuh jadi konflik saat aku menemukan jalan memasuki hati Kaisar Hsien Feng dan melahirkan putraku, satu-satunya keturunan lakilaki dan pewaris takhta. Kenaikan peringkatku hanya semakin memperburuk masalah. Namun, di balik kekacauan penyerbuan bangsa asing, mangkatnya suami kami pada masa pengasingan di tanah perburuan lama di Jehol, dan krisis kudeta, kami dipaksa menemukan jalan untuk menjalin kerja sama.
Bertahuntahun kemudian semenjak itu semua, hubunganku dengan Nuharoo sangat sesuai dengan ungkapan, “Air di sumur tak akan mengganggu air di sungai.” Untuk bertahan, amatlah penting bagi kami berdua untuk saling menjaga satu sama lain. Terkadang hal ini tampak sangat mustahil, terutama mengingat Tung Chih. Status Nuharoo sebagai istri pertama memberikan wewenang baginya untuk menentukan cara asuhan dan pendidikannya, hal yang sangat menyayat hatiku. Perselisihan kami tentang cara terbaik membesarkan Tung Chih memang berakhir sejak dia menaiki takhta, tetapi kegetiran hatiku menyaksikan betapa anak itu sangat tak matang terus berlanjut menjadi duri bagi hubungan kami berdua.
Nuharoo mencari ketenangan dengan menjadi penganut Buddha taat, sementara ketidaktenanganku terus mengikutiku seperti bayangan. Jiwaku selalu mendantarkan kemauanku. Aku membaca buku kiriman Nuharoo untukku, Adab yang Pantas bagi Janda Kekaisaran, tetapi buku itu sama sekali tak bisa menenangkan batinku. Bagaimanapun, aku berasal dari Wuhu, “danau yang ditumbuhi rumput lebat” ' Aku tidak bisa menjadi sosok orang lain, meski seumur hidup aku berusaha.
“Bdajarlah menjadi Jenis kayu yang lembut, Anggrek,”
Ibu mengajariku saat aku masih kecil. “Bongkahan yang lembut akan diukir menjadi patungpatung Buddha dan dewadewi. Bongkahan yang keras akan dijadikan papan peti mati.”
Aku memiliki meja gambar di ruanganku, dengan tinta, cat campuran baru, kuas, dan kertas nasi. Tiap kali usai audiensi, aku datang ke sini untuk bekerja.
Lukisanlukisanku adalah untuk anakku—semua dijadikan sebagai hadiah atas namanya. Lukisan ini berperan sebagai duta bangsa dan bicara atas nama Kaisar setiap kali situasi jadi begitu memalukan. Cina dipaksa untuk mengemisngemis agar tenggat pembayaran atas biaya disebut sebagai kompensasi perang yang dipaksakan pada kami oleh kekuatan asing, diperpanjang.
Lukisanlukisan ini juga membantu meringankan penolakan terhadap kebijakan pajak tanah anakku. Para gubernur dari berbagai wilayah sudah mengirimkan pesan bahwa rakyat mereka amat miskin dan tak sanggup lagi membayarnya.
“Gudang penyimpanan mata uang tael sudah lama kosong,“ keluhku dalam dekrit yang dikeluarkan atas nama anakku. “Pajak yang telah kita kumpulkan sudah dikuras oleh kekuatan asing agar armada mereka tidak memasuki perairan kita, “
Saudara iparku, Pangeran Kung, mengeluhkan bahwa Biro Urusan Luar Negeri sudah kehabisan ruang untuk menyimpan suratsurat tagihan dari para penagih utang. “Kapalkapal armada asing sudah berkalikali mengancam untuk memasuki perairan kita,” dia memperingatkan.
Adalah ide kasimku, Antehai, untuk menggunakan lukisanlukisanku sebagai hadiah untuk menangguhkan waktu, menghemat uang, dan meminta pemahaman.
Antehai sudah melayaniku sejak hari pertamaku di Kota Terlarang, ketika sebagai bocah lakilaki usia tiga belas tahun, dengan sembunyisembunyi dia membawakanku minuman untuk tenggorokanku yang kering. Itu merupakan tindakan berani, dan semenjak saat itu, dia mendapatkan kesetiaan dan kepercayaanku.
Idenya akan lukisanlukisan ini sangat cerdas, dan aku tak dapat melukis lebih cepat lagi.
Kukirimkan satu lukisan sebagai hadiah ulang tahun untuk Jenderal Tseng Kuofan, panglima perang terhebat di Cina, yang mendominasi kekuatan militer negara. Aku ingin agar Jenderal tahu bahwa aku menghargainya, meski barubaru ini aku menurunkan pangkatnya atas nama anakku, di bawah tekanan golongan konservatif Istana yang proManchu, yang menyebut diri mereka TopiBesi. Topi Besi tak dapat menerima kenyataan bahwa bangsa Cina Han, melalui perjuangan keras mereka, telah mulai menduduki puncakpuncak kekuasaan. Aku ingin Jenderal Tseng tahu bahwa aku tak memiliki niat buruk padanya, dan bahwa aku menyadari bahwa aku sudah bertindak tak adil terhadapnya. “Putraku Tung Chih tidak dapat memimpin tanpamu,” adalah pesan yang dikirimkan lukisanku. Aku selalu berpikir apa yang menahan Jenderal Tseng Kuofan dari mengobarkan pemberontakan. Kudeta tentu tak akan sulit—dia memiliki uang dan bala tentara. Aku selalu berpikir bahwa ini semua hanyalah masalah waktu saja. “Sudah cukup semua,” aku bisa bayangkan Tseng akan berkata satu hari, dan putraku akan kehabisan peruntungannya.
Kutandatangani namaku dalam tulisan kaligrafi indah. Di atasnya kutandai dengan stempel pribadiku bertinta merah. Aku punya berbagai stempel batu dari berbagai jenis ukuran dan bentuk. Selain stempel khusus yang diberikan padaku oleh suamiku, stempel lainnya menunjukkan gdarku: “Maharani Cina”. “Ibu Suri Kebaikan Hati yang Suci”, “Permaisuri Istana Barat” “Permaisuri Tzu Hsi” adalah yang paling sering kugunakan. Stempelstempel ini bernilai tinggi bagi para kolektor. Untuk menjadikan hasil pekerjaan seninya lebih mudah terjual di kemudian hari, akan kutinggalkan namaku, kecuali jika diminta sebaliknya.
Kemarin Antehai melaporkan bahwa nilainilai lukisanku naik. Berita ini membuatku sedikit gembira. Meski begitu, aku lebih senang menghabiskan waktu bersama Tung Chih daripada merasa terpaksa melukis.
Setiap orang yang melihat lukisanku dapat melihat kekurangannya. Sapuan kuasku menunjukkan keamatiran, atau kurangnya bakat. Penguasaan tintaku menunjukkan bahwa aku hanya pemula. Sifat dari lukisan kertas nasi tidak mengizinkan adanya kesalahan, yang berarti aku harus menghabiskan waktu berjamjam untuk satu lukisan, bekerja hingga larut malam, dan satu saja sapuan salah akan merusak semuanya. Setelah berbulanbulan bekerja sendiri, aku akhirnya mempekerjakan guru seni yang tugasnya adalah menutupi kekuranganku.
Pemandangan alam dan bungabunga adalah objek lukisku. Aku juga melukis burungburung, biasanya berpasangan. Aku akan menempatkannya di tengahtengah lukisan. Burungburung itu akan bertengger di dahan yang sama atau beda, seolah sedang mengobrol. Dalam komposisi tegak, satu burung akan bertengger di pucuk dahan dan menatap ke bawah, dan burung lainnya akan bertengger di dahan bawah mendongak ke atas.
Aku menghabiskan banyak waktu mengerjai bulu-bulunya. Merah jambu, oranye, dan hijau limun adalah warnawarna bulu burung kesukaanku. Warnawarna itu memberi kesan hangat dan ceria. Antehai menyarankan agar aku melukis bungabunga peoni, teratai, dan krisan.
Dia bilang aku sangat pandai melukis bungabunga seperti itu. Tetapi aku tahu maksudnya adalah lukisanlukisan macam itu lebih mudah dijual.
Trik yang kupelajari dari guru seniku adalah bahwa stempel bisa digunakan untuk menutupi kekurangan yang ada. Karena aku punya kekurangan hampir di semua tempat, aku membubuhi cap stempel hampir di mana-mana untuk tiap lukisan. Saat aku merasa tak puas dan ingin memulai semuanya dari awal, Antehai mengingatkanku bahwa jumlah yang dihasilkan mestinya menjadi target utamaku. Dia membantu membuat capcap stempel itu jadi lebih menarik. Saat aku merasa sudah tak dapat menyelamatkan hasil karyaku, guru seniku akan mengambil alih.
Guruku biasanya menghabiskan waktu memperbaiki latar belakangnya. Dia akan tambahkan dedaunan dan rantingranting untuk menutupi bagian yang buruk dan akan menambahkan aksen ke gambar burung dan bungaku. Orang akan berpikir bahwa sapuan lukis guruku yang mengagumkan akan menjadikan karyaku tampak sungguh memalukan, tetapi dia menerapkan keterampilannya hanya untuk “menyelaraskan musiknya” Kemahiran seninya menyelamatkan karya lukisku yang terburuk. Sungguh mengesankan melihatnya berusaha keras menyamai sapuan-sapuan amatirku.
Pikiranku sering kali berkelana pada putraku saat aku tengah melukis. Pada malam hari, jadi sulit memusatkan pikiran. Aku akan membayangkan wajah Tung Chih selagi dia tertidur di ranjangnya dan memikirkan apa yang dia impikan. Saat aku tak lagi bisa menahan diri untuk menghabiskan waktu bersamanya, aku akan taruh kuasku dan berlari ke istana Tung Chih, empat pekarangan jauhnya dari tempatku. Tak sabar menanti Antehai menyalakan lampion, aku akan berlari dalam kegelapan, menabrak dan membentur tembok serta gerbang lengkung sampai tiba di sisi tempat tidur putraku. Di samping putraku yang tertidur, aku akan memeriksa napasnya dan membelaibelai kepalanya dengan jemari tanganku yang ternoda bekas tinta. Saat salah seorang pelayan menyalakan lilin, aku meraih satu dan membawanya dekat ke wajah anakku.
Mataku akan menelusuri kening indahnya, kelopak matanya, hidung, dan bibirnya. Aku akan membungkuk dan mengecupnya. Mataku akan basah saat kulihat kemiripannya dengan ayahnya. Aku akan teringat ketika Kaisar Hsien Feng dan aku sedang jatuh cinta. Kenangan kesukaanku adalah saat aku terus menggodanya dengan memaksakan dirinya mengingat namaku. Aku tak akan meninggalkan Tung Chih, hingga Antehai menemukanku. Rombongan panjang kasim akan mengekor di belakangnya, tiap mereka menjinjing lampion merah besar.
“Guruku bisa melukis untukku,” aku akan berucap pada Antehai. “Tidak akan ada yang tahu bahwa aku tidak membubuhi stempel itu sendiri.“
“Tetapi kau akan tahu, Yang Mulia,” kasim itu akan menjawab lembut, kemudian dia akan mengantarku balik ke istanaku.
2
BUKANNYA MEMBACAKAN BUKU untuk Tung Chih di bawah naungan teduh pekaranganku, aku malah menandatangani dekrit mengumumkan penjatuhan hukuman mati bagi dua tokoh penting. Saat itu 31 Agustus 1863. Aku sangat menyesali momen itu karena aku tak dapat menyingkirkan dari pikiranku akan arti tanda tanganku itu terhadap kduarga mereka.
Terhukum pertama adalah Ho Kuiching, Gubernur Provinsi Chekiang. Ho adalah teman lama suamiku. Kali pertama aku bertemu dengannya saat dia masih pemuda belia. Dia baru saja menjuarai peringkat pertama ujian pegawai kekaisaran. Aku menghadiri upacara itu bersama suamiku, yang menganugerahinya dengan gelar Jinshih, Pemuda dengan Prestasi Agung.
Dalam ingatanku, Ho adalah pemuda yang rendah hati. Dia memiliki mata yang menjorok ke dalam dan gigi tonggos. Suamiku sangat terkesan dengan wawasan filsafat dan sejarahnya yang luas, dan dia mengangkat Ho sebagai Wali Kota dari Kota Selatan yang penting di Hangchow, dan beberapa tahun kemudian, sebagai Gubernur Chekiang. Saat dia berusia lima puluh, dia menjadi Gubernur Senior yang menanggungjawabi seluruh provinsi Selatan Cina. Ho juga dianugerahi kekuasaan militer. Dia adalah Pemegang Komando Tertinggi Kerajaan di Selatan Cina.
Catatan Ho menunjukkan bahwa dia dituntut karena mengabaikan tugasnya, mengakibatkan hilangnya beberapa provinsi selama pemberontakan Taiping terus berlanjut. Dia telah memerintahkan kepada anak buahnya untuk menembaki penduduk setempat saat berusaha meloloskan diri. Aku menolak permintaannya untuk mempertimbangkanulang kasusnya. Dia tampak tak menunjukkan rasa bersalah atau penyesalannya atas kematian dan penderitaan ribuan keluarga yang ditelantarinya.
Ho dan kawankawannya di Dewan Istana mengabaikan fakta bahwa suamiku sendiri secara pribadi telah menginstruksikan pemenggalan kepalanya sebelum wafatnya. Oposisi kuat yang kutemui di kemudian hari membuatku menyadari kelemahanku. Aku menganggap tuntutan Ho sebagai tantangan langsung terhadap kemampuan putraku sebagai penguasa Cina. Pangeran Kung adalah salah seorang dari sedikit orang yang berdiri di sisiku, meski dia terusmenerus mengingatkanku bahwa aku tak mendapatkan dukungan dari mayoritas Dewan Istana.
Aku tak mengira bahwa ketidaksetujuanku dengan pihak Istana akan berubah menjadi krisis yang mengancam kelangsungan pemerintahan putraku dan diriku sendiri. Aku menyadari bahwa perilaku Ho mencerminkan tindakan para Gubenur dari kebanyakan provinsi. Aku merasa hanya akan mengakibatkan malapetaka tak berkesudahan jika aku gagat menindaklanjuti kasus ini dengan pemberlakuan hukuman.
Selang beberapa minggu, aku menerima petisi yang memintaku mempertimbangkanulang kasus tersebut. Ditandatangani oleh tujuh belas menteri berkedudukan tinggi, para gubernur dan jenderal, petisi itu mengklaim bahwa Ho tak bersalah dan memohon Paduka Tung Chih Yang Mulia untuk membatalkan dakwaan.
Aku meminta Pangeran Kung untuk membantuku menyelidiki latar belakang setiap penandatangan petisi. Informasi yang segera dibawakan oleh Pangeran Kung menunjukkan bahwa tanpa terkecuali, semua penandatangan petisi merupakan orangorang yang dipromosikan secara pribadi atau direkomendasikan menduduki jabatannya oleh Gubernur Ho sendiri.
Tarikulur perdebatan terus berlangsung selagi aku dan Tung Chih menghadiri audiensi. Anakku kelelahan, dan dia bergerakgerak gelisah di kursi singgasana besarnya. Aku duduk di belakangnya, agak ke kiri, dan harus terus mengingatkan dirinya untuk duduk tegak. Untuk mempertahankan agar Tung Chih melakukan kontak mata dengan lebih dari seratus menteri di lantai depan dirinya, kursi singgasananya ditempatkan di atas panggung. Dia dapat menatap semua orang, dan sebaliknya, dirinya dapat dilihat oleh setiap orang. Menjaga citra sebagai Putra Surga sesuai dengan yang diharapkan para pengikutnya bukanlah hal mudah. Aku berusaha memperecpat proses audiensi agar anakku dapat keluar dan bermain. Hal ini adalah siksaan bagi bocah tujuh tahun, meskipun dia adalah Putra Surga.
Pendapat mayoritas menyatakan bahwa kelalaian Ho bukanlah hal besar—itu bukan tanggung jawab sang Gubernur. Menteri Pendapatan di Provinsi Jiangsu bicara sebagai saksi: “Aku meminta Gubernur Ho untuk datang dan membantu menjaga wilayahku. Mestinya dia tak dianggap sebagai pembelot, tetapi justru pahlawan.”
Tung Chih tampak kebingungan dan memohon untuk pergi.
Aku mengizinkan anakku pergi dan melanjutkannya sendiri. Aku tetap teguh pada pendirianku, terutama saat mengetahui bahwa Ho telah berusaha untuk menghancurkan buktibukti yang ada dan mengusik para saksi.
Pangeran Kung mengundurkan diri dari proses pengadilan Ho, setelah berharihari perdebatan tak kunjung usai. Dia mundur dengan mengatakan bahwa dirinya memilih meninggalkan saja masalah ini di tanganku. Aku terus berjuang melawan Dewan Istana yang kini menuntut adanya “penyidik yang lebih tepercaya”.
Aku merasa seolah tengah memainkan satu permainan yang aturannya sendiri tak kumengerti. Dan tak ada waktu untuk mempelajarinya. Atas nama putraku, kupanggil Jenderal Tseng Kuofan, yang kini menjadi pengganti sementara Gubemur Ho. Aku memberitahukannya bahwa aku tengah bersusah payah mencari satu orang yang hanya akan mengungkapkan kejujuran. Aku menugasinya untuk memimpin penyelidikan yang baru.
Kujelaskan pada Tung Chih bahwa aku dan ayahnya selalu memegang kepercayaan besar pada integritas Jenderal Tseng. Sebagai upaya menjaga minat anakku, aku menceritakan padanya kisah pertemuan pertama Tseng dengan Kaisar Hsien Feng, dan bagaimana Panglima Perang itu terkejut saat Kaisar memintanya untuk menjelaskan mengapa dirinya diberi gelar “Tseng sang Pemenggal Kepala”.
Tung Chih senang mendengarkan kisahkisah penyerangan Tseng, dan bertanya apakah Jenderal itu seorang Manchu. “Bukan, dia seorang Cina Han.” Kuambil kesempatan itu untuk menekankan inti pendapatku. “Kaulihat betapa kalangan Istana mendiskriminasikan kaum Han.”
“Selama dia terus berjuang dan memenangkannya untukku,” anakku menanggapi, “aku tak peduli dari mana asal ras dia.”
Aku bangga padanya dan berujar, “Itulah sebabnya kau jadi seorang Kaisar.”
Dewan Istana menerima penunjukanku atas Tseng Kuofan, yang membuatku jadi berpikir bahwa seseorang dari mereka pasti meyakini Tseng orang yang korup. Aku mensyaratkan agar temuan Tseng akan jadi bagian dari catatan publik.
Selang sebulan, Tseng menyampaikan temuannya di depan kehadiran Dewan Istana, yang membuatku puas:
Meskipun tak tersisa dokumendokumen kertas yang bisa didapatkan para penyidikku, oleh karena Wisma Gubernur telah dibakar habis oleh para pemberontak Taiping, fakta tetap menunjukkan bahwa Gubernur Ho Kuiching gagal dalam tugasnya menjaga provinsinya. Pemenggalan kepala bukanlah pemberlakuan hukuman yang tak pantas, mengingat itulah hukum pemerintahan kerajaan. Masalah bahwa benar tidaknya dia telah dibujuk oleh anak buahnya untuk meninggalkan wilayah, menurut pendapatku, tidaklah relevan dalam kasus ini.
Balairung menjadi hening usai Tseng Kuofan mengutarakan pernyataannya. Dan aku tahu aku telah menang.
Aku menyesalkan fakta bahwa akulah yang harus menyampaikan katakata terakhir sebelum eksekusi dijalankan. Aku mungkin bukanlah seorang penganut Buddha sejati seperti Nuharoo, tetapi aku meyakini ajaran Buddha yang menyatakan bahwa “membunuh sama saja mengurangi satu kebajikan dari seseorang”. Satu tindakan sedahsyat itu akan cukup mengacaukan keseimbangan diri seseorang dan mengurangi umurnya. Sayangnya, aku tak mampu menghindari tanggung jawab untuk menjatuhkan hukuman tersebut.
Orang kedua yang harus menjalani proses eksekusi adalah Jenderal Sheng Pao, yang bukan saja salah seorang kawanku, melainkan juga seseorang yang sudah memberikan sumbangsih besar bagi Dinasti. Aku tak bisa tidur memikirkan kasusnya, meski aku tak pernah meragukan tindakan yang akhirnya kuambil.
Pepohonan di luar jenddaku bergoyang kencang teramuk badai yang datang tibatiba, seperti lenganlengan telanjang terangkat ke sana kemari memohon pertolongan. Rantingranting pepohonan yang basah oleh hujan dan terpukul angin kencang akhirnya patah dan jatuh menimpa genteng kuning istanaku. Pohon magnolia besar di pekarangan mulai menguneup lebih awal tahun ini, dan badai ini tentu akan merusaknya, menghancurkannya sebelum sempat mekar.
Saat itu tengah malam, dan Sheng Pao masih berkutat di pikiranku saat aku menatap tetes air hujan memukulmukul kaca jendelaku. Mustahil aku bisa menyiapkan diriku sendiri. Benakku tak bisa membekap suara batinku: Anggrek, tanpa Sheng Pao kau takkan bertahan hidup.
Sheng Pao adalah seorang Pemegang Panji Manchu yang tak kenal takut, prajurit yang penuh keberanian, yang tumbuh besar diimpit kemiskinan dan yang akhirnya berhasil menemukan jalannya sendiri menuju kesuksesan. Dia telah menjadi Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Kerajaan di Utara selama bertahuntahun, dan memiliki pengaruh yang sangat besar di Istana. Dia ditakuti oleh musuhmusuhnya, hingga namanya saja bisa membuat pemberontak Taiping gemetar ketakutan. Sang Jenderal sangat menyayangi pasukannya dan membenci peperangan karena dia tahu kerugiannya. Dengan memilih bernegosiasi dengan para pemimpin pemberontakan, dia telah berhasil mengambil kembali berbagai provinsi tanpa harus mengerahkan kekuatan bersenjata.
Sheng Pao memihakku dalam tindakanku menentang mantan Penasihat Agung Su Shun pada 1861. Kudeta yang dilancarkan setelah kematian suamiku merupakan momen yang sangat penting bagiku, dan Sheng Pao adalah satu-satunya orang dari kekuatan militer yang datang membantuku.
Masalah yang muncul dari Sheng Pao tiba setelah kembalinya kami dari Jehol, tanah perburuan Kerajaan, menuju Peking dengan mayat suamiku, Kaisar Hsien Feng. Sebagai penghargaan atas jasanya, aku telah menaikkan jabatan sang Jenderal, menganugerahinya kekuasaan dan kekayaan yang tak tertandingi. Akan tetapi, tak lama semenjak itu, keluhan mengenai penyalahgunaan kekuasaan oleh Sheng Pao datang dari berbagai pelosok negeri. Awalnya, suratsurat keluhan yang tiba dialamatkan pada Biro Peperangan. Namun, tak ada satu orang pun yang berani menantang Sheng Pao secara pribadi.
Pangeran Kung mengabaikan keluhankeluhan yang datang, dan berharap Sheng Pao akan mengendalikan dirinya sendiri. Itu harapan yang percuma. Bahkan, dia menyarankan agar aku juga berpurapura tak tahu akan kasus ini, mengingat jasajasa Sheng Pao yang demikian besar.
Aku berusaha keras untuk menahan diri, tetapi akhirnya kasus ini sampai pada titik yang wewenang putraku sebagai pemimpin dipertanyakan. Aku pergi menemui Pangeran Kung dan memintanya untuk menuntut keadilan pada Sheng Pao.
Para penyidik Pangeran Kung menemukan fakta bahwa sang Jenderal telah melambungkan angkaangka kerugian untuk memperoleh kompensasi berlebih. Dia juga memalsukan beritaberita kemenangan untuk memperoleh promosi jabatan bagi para perwiranya. Sheng Pao menuntut agar Dewan Istana mengabulkan semua permohonannya. Menaikkan pajak lokal demi kepentingan pribadi sudah menjadi kebiasaannya. Dan sudah diketahui umum bahwa dia suka menghabiskan waktunya bermabuk-mabukan dan bersenangsenang dengan para pelacur.
Beberapa gubernur lain sudah mulai mengikuti jejak yang dicontohkan Sheng Pao. Sebagian dari mereka mulai berhenti membayar pajak kerajaan. Para tentara disuruh mengabdikan diri mereka pada Gubernur setempat daripada Kaisar Tung Chih. Slogan cibiran telah menjadi populer di jalanjalan Kota Peking: “Kaisar Cina sesungguhnya bukanlah Tung Chih, melainkan Sheng Pao.”
Kemewahan acara pernikahan Sheng Pao menjadi buah bibir terkini dan kenyataan bahwa pengantinnya adalah mantan istri dari pemimpin pemberontakan Taiping terkenal.
Tak lama setelah fajar, matahari muncul dari balik awan, tetapi hujan belum juga reda. Kabut timbul di pekarangan, merayapi pepohonan layaknya asap putih.
Aku sedang duduk di kursiku, sudah berpakaian lengkap, ketika kasimku Antehai masuk, dan dengan nada riang, dia mengumumkan, “Tuan Putri, Yung Lu hadir.”
Napasku tertahan saat melihatnya.
Tampak tinggi dan kuat dalam balutan seragam Pemegang Panjinya, Yung Lu memasuki ruangan.
Aku berusaha bangkit untuk menyambutnya, tetapi kedua tungkaiku terasa lemah. Maka aku memilih tetap duduk. Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ http://kangzusi.com/
Antehai muncul di antara kami dengan membawa matras beledu warna kuning. PeIanpelan, dia meletakkan matras itu beberapa meter jauhnya dari bangkuku. Ini adalah bagian dari ritual yang harus dilakukan bagi siapa pun yang datang menhadap Janda Kekaisaran pada tahun kedua setelah masa berkabungnya. Etika ini terasa janggal, mengingat Yung Lu dan aku telah bertemu muka sering kali di berbagai audiensi yang diadakan, meski pada saat itu pun kami dipaksa bersikap layaknya orang asing. Maksud dari ritual ini adalah untuk mengingatkan kami akan jarak yang terbentang antara kaum lelaki Kerajaan dan wanitanya.
Saat ini, para kasim, pelayan, dan dayangku berdiri memunggungi tembok dengan lengan terlipat di dada. Mereka semua menatap Antehai selagi dia mempertunjukkan keahliannya. Selama bertahuntahun, dia telah menjadi seorang maestro ilusi. Dengan Yung Lu dan diriku sebagai aktornya, dia mempertontonkan pengalih sandiwara yang begitu cerdas.
Yung Lu menjatuhkan dirinya ke atas matras dan menempelkan keningnya perlahan ke permukaan lantai dan memohonkan keselamatan untukku.
Aku berucap, “Bangkitlah.“
Saat Yung Lu berdiri, Antehai perlahanlahan menarik matras itu, mengumpulkan semua perhatian pada dirinya selagi Yung Lu dan aku bertukar pandang.
Teh disajikan saat kami berdua duduk layaknya dua jambangan. Kami mulai berbincang mengenai akibat dari eksekusi Gubernur Ho, dan bertukar pikiran akan penundaan kasus Sheng Pao. Yung Lu meyakinkan diriku bahwa keputusan yang kuambil sudah tepat.
Pikiranku terbang selagi duduk di samping kekasihku. Aku tak bisa melupakan peristiwa yang terjadi empat tahun sebelumnya, saat kami berbagi satusatunya pengalaman berdua kami di dalam makam Kaisar Hsien Feng. Aku ingin sekali mengetahui apakah Yung Lu mengingat kejadian itu sejelas ingatan dalam benakku. Aku tak bisa menemukan jawabannya dalam sorot matanya. Beberapa hari sebelumnya, saat dia sedang duduk di tengah audiensi dan menatap tepat di kedua mataku, aku mempertanyakan apakah pernah ada hasrat cinta di antara kami berdua. Sebagai janda dari Kaisar Hsien Feng, aku sudah tak punya masa depan dengan lelaki mana pun. Namun, hatiku menolak untuk menetap dalam makamnya.
Jabatan Yung Lu sebagai Pemimpin Pemegang Panji terus menuntutnya untuk pergi jauh dari ibu kota. Dengan atau tanpa pasukannya, dia berpindahpindah ke mana pun dibutuhkan, memastikan bala tentara Cina memenuhi tugasnya terhadap Kekaisaran. Sebagai lelaki yang penuh tindakan, itu adalah kehidupan yang paling sesuai bagi dirinya; dia adalah tentara yang lebih menyenangi ditemani oleh rekan sesama tentaranya ketimbang kehadiran para menteri Istana.
Kepergian Yung Lu yang sering, membuat kerinduanku lebih mudah untuk dijalani. Hanya saat kepulangannya sajalah aku akan kembali menyadari dalamnya perasaan cintaku padanya. Dengan tibatiba, dia akan hadir di hadapanku, melaporkan masalahmasalah genting yang dihadapi atau menawarkan nasihat pada saatsaat kritis. Dia mungkin akan tinggal di ibu kota selama beberapa minggu atau bulan, dan selama waktu itu akan menghadiri audiensiaudiensi yang diadakan dengan patuh. Hanya pada saatsaat itulah aku benarbenar bersemangat menjalani audiensi harianku.
Di luar audiensi, Yung Lu menghindariku. Itu adalah caranya untuk melindungiku dari gunjingan dan gosip. Kapan saja aku memintanya untuk bertemu muka denganku secara. pribadi, dia akan menolaknya. Namun, aku tetap saja mengirimkan Antehai. Aku ingin Yung Lu mengetahui bahwa kasim bisa saja mengantarkannya melalui pintu belakang balairung menuju ruanganku.
Meski Yung Lu telah meyakinkanku akan ketepatan keputusanku terkait masalah Sheng Pao, aku tetap saja khawatir. Memang benar, buktibukti yang ada memberatkan dirinya, tetapi sang Jenderal memiliki banyak sekutu di Istana, dan salah seorang di antaranya adalah Pangeran Kung, yang kusadari tengah menjaga jarak. Ketika Sheng Pao akhirnya digiring ke Peking, saudara iparku tibatiba muncul kembali di hadapanku, menyarankan agar Sheng Pao dikirimkan ke tempat pengasingan ketimbang dieksekusi mati. Aku kembali mengingatkan Kung bahwa perintah asli agar Sheng Pao dieksekusi dikeluarkan oleh Kaisar Hsien Feng sendiri. Pangeran Kung bergeming. Dia menganggap keteguhanku sebagai bentuk pernyataan perang.
Aku merasa lemah dan takut saat petisi untuk membebaskan Sheng Pao tiba dari ujung belahan Cina. Untuk kesekian kalinya, Yung Lu datang untuk menguatkanku dan menyokong pendirianku. Dia memberiku keberanian dan ketenangan untuk berpikir jernih. Hanya sedikit orang yang mengetahui bahwa Yung Lu memiliki alasannya sendiri untuk melihat Sheng Pao menuju kematiannya: Yung Lu merasa terpukul ketika Sheng Pao membantai para prajurit yang terluka. Bagi Yung Lu, itu merupakan masalah prinsip.
Strategiku sungguh sederhana: Aku meyakinkan anak buah Sheng Pao bahwa aku takkan memenggal kepala Sheng Pao jika mayoritas dari mereka yakin bahwa dirinya pantas hidup. Aku juga mengubah peraturan agar orangorang dari klan yang sama dengan Sheng Pao tidak akan menerima hukuman yang sama dengan pemimpin mereka. Merasa jera, mereka kini dapat memilih berdasar hati nurani mereka sendiri, dan dengan jujur, mereka menyatakan menginginkan kematian Sheng Pao.
Sheng Pao digiring menuju Balairung Hukuman, di mana dia diantar menuju kematiannya secara cepat. Rasa haru dan kegagalan menyapu diriku. Selama berharihari aku mengalami mimpi yang sama: Ayahku berdiri di atas sebuah kursi di ujung lorong gelap dikelilingi oleh tembok-tembok tinggi. Berbalut piama katun abuabunya, dia mencoba memasang paku ke tembok. Dia tampak sangat kurus, kulitnya menggantung dari tulangnya. Kursi tempatnya berdiri bergoyang, dan satu dari kaki bangkunya hilang. Aku memanggilnya dan dia menoleh, tampak angkuh. Tangan kirinya berusaha menjangkauku, dan dia membuka telapak tangannya. Genggamannya penuh dengan paku karatan.
Aku tak berani menafsirkan mimpiku karena dalam mitologi Cina, paku karatan menyimbolkan keputusasaan dan penyesalan.
Aku tak mampu mewujudkan tindakanku, tanpa dukungan dari Yung Lu. Perasaanku padanya tumbuh semakin dalam, tetapi kisah cinta kami secara fisik hanya akan terwujud dalam alam mimpi. Setiap harinya, aku merasakan kekosongan sosok pria dalam hidupku. Namun, aku lebih mengkhawatirkan hal ini terhadap perkembangan putraku. Hampir sepuluh tahun sebelumnya, aku telah kehilangan seorang suami, tetapi anakku telah kehilangan seorang Ayah. Dalam benakku, itu menjadi tragedi dua kali lipat untuknya. Itu artinya Tung Chih harus segera bertanggung jawab penuh dari posisinya, dan secara langsung kehilangan masa kanakkanaknya. Harihari keriangan masa kecil tanpa adanya beban kekhawatiran tak akan pernah dirasakannya. Kini, meskipun masih kecil, aku sudah dapat menangkap kegelisahan dari dirinya, yang terkadang akan meledak dalam amarahnya yang tak terkendali.
Tung Chih memerlukan sosok lelaki untuk membimbingnya. Itu adalah bagian kedua dari tragedi ini. Dia tidak saja diburu untuk segera mengemban peran yang amat berat sebelum waktunya, tetapi dia juga tidak memiliki satu sosok pun yang bisa dijadikan panutan bagi pembentukan karakter dan perilakunya. Di dalam istana yang dipenuhi oleh ketegangan politik hanya ada sedikit figur Ayah yang tidak menyimpan agenda tersendiri dalam diri mereka.
Yung Lu dan Pangeran Kung adalah dua lelaki yang kuharapkan bisa mengisi peran ini. Namun, konflik tentang Sheng Pao telah membuatnya jadi sulit. Yung Lu tengah menikmati popularitas yang begitu besar, sebelum dia memutuskan untuk berada di pihakku. Kini, pengaruh dirinya dipertanyakan. Dan kini aku mulai merasakan betapa marahnya Pangeran Kung padaku atas tindakanku mengakhiri hidup dari sekutu lamanya.
3
MESKI PERTIKAIAN dengan Gubernur Ho Kuiching dan Jenderal Sheng Pao sudah dapat kuperkirakan, tak pernah terlintas dalam benak ku suatu saat akan berselisih dengan saudara iparku sendiri, Pangeran Kung. Sejarah kami berdua sudah terjalin demikian lama, hingga kekusutan dalam hubungan kami bukanlah sesuatu yang kuduga. Semenjak krisis yang membuntuti wafatnya suamiku di Jehol, kami telah menjadi sekutu yang penting bagi satu sama lain, bahkan sekutu yang mutlak ada. Kung tetap bertahan di garis belakang Peking selagi Dewan Istana pergi menghindari penyerbuan tentara pihak asing dan mempunyai tugas berat untuk bernegosiasi dengan penyerbu asing. Ketika Penasihat Agung Su Shun berniat merebut kekuasaan dari istana pengasingan di luar Tembok Besar, Kung masih berada di Kota Peking dan dengan leluasa mengatur skema untuk melawan kudeta. Tak ada yang dapat menandingi jasa hebatnya saat menyelamatkan Nuharoo, diriku sendiri, dan Tung Chih muda.
Dan kami pun berteman—atau setidaknya, aku memiliki kepedulian besar padanya dan yakin aku memahami motivasinya. Dia memiliki bakat luar biasa dan, seperti yang selama ini selalu kupikirkan, lebih cakap dari saudaranya yang terpilih menduduki singgasana. Lebih berkepala dingin dan lebih disiplin dibanding Hsien Feng, Pangeran Kung bisa tampak amat dingin, tetapi setidaknya dia tidak membiarkan kebencian menguasai dirinya. Untuk sikapnya ini, aku menaruh hormat padanya, begitu pula dengan kalangan Istana. Aku selalu merasa bahwa dia selalu mendahulukan kepentingan Cina di atas tujuan pribadi.
Walaupun demikian, saat ini adalah masa yang sulit. Konflik mengelilingi kami, datang dari dalam maupun luar, dan ketegangan yang ada berarah pada terciptanya atmosfer beracun yang memicu pertikaian sengit antargolongan di Istana.
Sebuah fakta tersingkap perlahan, tetapi akhirnya tampak jelas bahwa Pangeran Kung sering kali mengadakan urusanurusan penting Istana di balik sepengetahuan kami. Hal ini sama persis seperti yang terjadi di Jehol ketika Su Shun memaksakan agar Nuharoo dan diriku tidak perlu repotrepot mengurusi tetekbengek pekerjaan Istana, yang lebih baik diserahkan pada kaum lelaki. Dalam banyak cara, Pangeran Kung menegaskan keinginannya pada Nuharoo dan diriku untuk menjalin hubungan layaknya saudara ipar, bukannya sebagai rekan politik.
“Memang benar bahwa sebagai perempuan, pengetahuan kami akan kekuatan asing mungkin kurang,” bantahku, “tetapi itu bukan berarti bahwa hakhak kami bisa dihapuskan begitu saja.”
Tanpa merasa perlu untuk menghadapi kami, Pangeran Kung tetap saja tak melibatkan kami.
Aku berusaha menarik Nuharoo untuk turut protes bersamaku, tetapi dia tidak berbagi kecemasan yang sama. Dia menyarankan agar aku memaafkan Pangeran Kung dan melupakan saja masalah itu. “Menjaga ketenangan adalah kewajiban keluarga kita,” ucapnya sambil tersenyum.
Tanpa adanya laporanlaporan harian yang dihadirkan untukku, aku tak punya ide sedikit pun akan apa yang sesungguhnya tengah terjadi. Aku merasa buta dan tuli ketika diminta untuk mengambil keputusan saat audiensi. Pangeran Kung membuat bangsa asing memercayai bahwa Permaisuri Nuharoo dan aku hanyalah pemimpin boneka. Bukannya menujukan proposalproposal mereka kepada Tung Chih, kekuatan asing itu justru mengalamatkannya pada Pangeran Kung.
Tung Chih sudah hampir menginjak usia dua belas, saat situasi dengan Kung makin tak terkendali. Hanya selang beberapa tahun kemudian, dia akan menjalani perannya secara penuh selaku Kaisar—jika masih tersisa peran baginya untuk dijalankan. Pada audiensiaudiensi yang diadakan, dia tak tahu akan konflik yang tengah terjadi, tetapi dia dapat merasakan kegelisahanku. Ketegangan hubungan di antara kami yang kian menguat hanya membuatnya semakin bersemangat untuk menghindar dari tugastugasnya. Sementara Tung Chih duduk sembari mengetukngetukkan kakinya atau menatap kosong ke kejauhan hingga waktu audiensi berakhir, aku hanya dapat menatap para menteri, bangsawan, dan rakyat yang tengah berkumpul di depan dan merasakan bahwa aku telah gagal mendidik anakku.
Aku sadar jika aku tidak berhasil meyakinkan Nuharoo akan kerugiannya sendiri, dia tak akan memberikan dukungannya. Putraku hanya akan menjadi Kaisar sebatas nama, sementara pamannyalah yang akan memegang seluruh kekuasaannya. Alasan mengapa eksekusi Gubernur Ho dan Jenderal Sheng Pao menemui banyak perlawanan, adalah karena keduanya merupakan kawan Pangeran Kung. Karena desakankulah, eksekusi tersebut akhirnya berhasil dijalankan, tetapi kini kusadari betapa mahalnya “utang darah” yang harus kutanggung.
Tanpa persiapan dan sering kali tak tahu apa yang mesti diucapkan, Nuharoo dan aku mengizinkan Pangeran Kung untuk mengadakan audiensi seolaholah kami berdua tidak ada. Ketiadaan rasa hormat sangat terasa, hingga tak lama, Dewan Istana juga merasa bebas untuk mengacuhkan kami secara terangterangan. Yung Lu cemas jika kekuatan tentara akan segera menyusul.
Aku menyadari bahwa aku harus berdiri tegak demi diriku sendiri dan Tung Chih, dan itu harus dilakukan sesegera mungkin. Ketika seorang perwira berpangkat rendah dari kota di Utara mengirimkan surat mengeluhkan Pangeran Kung, aku merasakan bahwa momen itu telah tiba.
Selama dua jam, aku telah menyusun sebuah dekrit mengungkapkan kasus yang memberatkan Pangeran Kung. Kutulis dengan saksama dan hanya mengacu pada fakta-fakta, menghindari sebisa mungkin untuk memasukkan halhal tak penting berkaitan dengan karakter saudara iparku. Kemudian kulakukan satu hal tersulit: kupanggil putraku dan berusaha menjelaskan padanya akan apa yang akan kami lakukan. Wajah Tung Chih tampak kosong dan kedua matanya melotot. Dia terlihat sangat muda, sangat lemah, bahkan di balik jubah sutra megahnya yang berhiaskan simbolsimbol kerajaan. Aku tak bermaksud menakut-nakutinya, dan kesedihan segera melanda jiwaku. Bagaimanapun, aku harus membuatnya paham.
Kemudian, atas nama putraku, kupanggil Pangeran Kung.
Keheningan melanda para hadirin audiensi yang kaget sewaktu Tung Chih membacakan dekrit yang kutulis dan kutaruh dalam genggamannya. Tampaknya kalangan Istana begitu terkejut, hingga tak ada seorang pun yang menantang dakwaan tersebut. Malam sebelumnya, aku telah berhasil membujuk Nuharoo untuk memihakku, meski dia tak hadir saat pembacaan dakwaan. Dalam dekrit, kucantumkan beberapa butir peraturan yang telah Pangeran Kung langgar. Argumentasiku kuat, demikian juga dengan buktibukti yang kupaparkan. Saudara iparku tak memiliki pilihan lain selain mengakui bahwa dia telah melakukan kesalahan.
Aku telah merendahkan Pangeran Kung dengan melucutinya dari semua jabatan dan gelar yang disandangnya.
Malam itu juga aku meminta Yung Lu untuk berbicara secara pribadi dengannya. Yung Lu membuat Kung memahami bahwa bersatu denganku merupakan satusatunya pilihan yang dimilikinya. “Begitu kau menyampaikan permohonan maaf kepada publik,” Yung Lu berjanji atas namaku, “Baginda Ratu akan mengembalikan seluruh jabatan dan gelarmu.”
Tindakanku dipuji oleh musuhmusuh Pangeran Kung sebagai “melepaskan hewan buas” Mereka memohon padaku untuk tak mengembalikan posisinya. Orangorang ini jelas tak memahami apa yang kuharapkan dari Pangeran Kung. Mereka tidak mengerti bahwa menghukumnya hanya merupakan satusatunya jalan untuk mengakurkan hubungan kami kembali. Agar diperlakukan sebagai rekannya yang setara, hanya itu yang kupinta.
Untuk mengakhiri rumor yang menyebutkan bahwa aku dan Pangeran Kung sebagai musuh bebuyutan, kukeluarkan dekrit baru, menganugerahkan izin bagi Pangeran Kung untuk mewujudkan hal yang selalu dia impikan: membuka sebuah akademi bergengsi, Sekolah Sains dan Matematika Kerajaan.
Tung Chih mengeluh tentang sakit perutnya dan diizinkan untuk tak menghadiri audiensi pagi. Kukirim Antehai untuk memeriksa kondisinya pada sore hari. Tahun ini, putraku akan menginjak usia tiga belas, dan dia telah menjabat sebagai Kaisar selama tujuh tahun. Aku bisa mengerti mengapa dia membenci tugastugasnya dan akan berusaha melarikan diri kapan pun memungkinkan. Namun tetap saja, aku sungguh kecewa.
Pikiranku masih berkelana memikirkan Tung Chih, selagi duduk di kursi singgasana dan menyimak Yung Lu yang sedang membacakan suratsurat Tseng Kuofan mengenai penggantian Gubenur Ho dan Sheng Pao, yang prosesnya belum juga usai. Aku harus memaksakan diri untuk berkonsentrasi.
Kupakukan mataku ke arah pintu dan berharap mendengarkan pengumuman akan kedatangan putraku. Akhirnya dia tiba. Lima puluh orang hadirin audiensi menjatuhkan diri dan berlutut menyambutnya. Tung Chih segera melenggang menuju kursi singgasananya dan tak menyempatkan diri untuk mengangguk pada kerumunan hadirin.
Putraku yang tampan telah bercukur untuk kali pertama. Akhirakhir ini, dia tumbuh tinggi dengan begitu cepatnya. Kilauan matanya dan suara lembutnya mengingatkan diriku akan ayahnya. Di depan khalayak, dia tampak percaya diri. Namun, aku tahu kegelisahan terus menghantuinya.
Aku sering kali meninggalkan Tung Chih sendiri, karena itulah yang mereka perintahkan padaku. Nuharoo sudah menekankan bahwa menjadi tugasnyalah untuk menjawab kebutuhankebutuhan Tung Chih. “Tung Chih harus diberi kesempatan untuk tumbuh dewasa sesuai dengan keinginannya sendiri.”
Kalangan kerajaan mengalami kesulitan untuk mengendalikan kebandelan Tung Chih. Pada akhirnya putra Pangeran Kung, Tsaichen, dibawa masuk Istana untuk menjadi teman belajar Tung Chih. Meski tak diberi tahu sebelumnya akan keputusan itu, aku sangat terkesan dengan kesopanan Tsaichen dan merasa lega melihat kedua anak itu segera menjalin pertemanan.
Tsaichen dua tahun lebih tua daripada Tung Chih, dan pengalamannya di dunia luar membuat Kaisar Muda terkesan, yang dilarang untuk menjejakkan kakinya keluar dari gerbang Kerajaan. Dia akan melakukan apa pun demi mendengarkan ceritacerita dari mulut Tsaichen. Kedua anak itu juga berbagi minat yang sama pada opera Cina.
Tak seperti Tung Chih, Tsaichen adalah pemuda yang kuat dan gagah. Menunggangi kuda adalah kegemarannya. Aku berharap di bawah pengaruh temannya, putraku bisa mengikuti tradisi para Pemegang Panji, praktik lama dari tentara Manchu yang telah menaklukkan bangsa Cina Han dua abad sebelumnya. Lukisanlukisan keluarga kami menggambarkan kaisarkaisar Manchu turut berperan serta dalam peristiwaperistiwa sepanjang tahun: pertandingan bela diri, pacuan kuda, perburuan musim gugur. Selama enam generasi, para Kaisar bangsa Manchu meneruskan tradisitradisi ini, hingga saat masa suamiku, Kaisar Hsien Feng. Impianku akan jadi kenyataan jika melihat Tung Chih menunggangi kudanya suatu hari nanti.
“Aku berangkat menuju Wuchang malam ini.” Yung Lu berdiri di hadapanku.
“Untuk apa?” tanyaku, sedih mendapatkan berita mendadak itu.
“Panglima perang di Provinsi Jianghsi menuntut hak untuk memimpin tentara pribadi.”
“Bukankah mereka sudah melakukannya?”
“Benar, tetapi mereka menginginkan dukungan resmi dari Kerajaan,” jawab Yung Lu. “Dan tentu saja mereka tidak hanya berharap untuk menghindari pajak, tetapi juga menginginkan mengalirnya dana tambahan dari Kerajaan.“
“Ini adalah masalah yang sudah ditutup.” Kualihkan pandanganku. “Kaisar Hsien Feng telah menolak proposal itu sejak lama.”
“Para Panglima itu bermaksud menantang Kaisar Tung Chih, Yang Mulia.”
“Apa maksudmu?”
“Pemberontakan sedang disiapkan.”
Aku menatap Yung Lu dan mengerti.
“Tidak bisakah kautinggalkan masalah ini pada Tseng Kuofan?” Aku merasa cemas membiarkan Yung Lu pergi menuju medan tempur.
“Para Panglima akan mempertimbangkan konsekuensinya secara lebih serius jika mereka tahu mereka berhubungan langsung dengan Yang Mulia.”
“Apakah ini ide dari Tseng Kuofan?”
“Benar. Jenderal menyarankan agar Anda mengambil keuntungan dari kemenangan yang Anda terima barubaru ini di pengadilan.”
“Tseng Kuofan menginginkanku menumpahkan lebih banyak darah,” ujarku. “Yung Lu, Jenderal Tseng akan menyerahkan sebutan 'PemenggalKepalanya' padaku, jika itu yang kaumaksudkan dengan kemenangan barubaru ini. Saran itu sama sekali tak menarik minatku.” Aku berhenti dan emosi mulai mencekik kerongkonganku. “Aku ingin disukai. Bukan ditakuti.”
Yung Lu menggeleng. “Aku setuju dengan Tseng. Yang Mulia adalah satusatunya orang yang ditakuti oleh para Panglima itu sekarang ini.”
“Tetapi kau tentu tahu bagaimana perasaanku.”
“Ya, aku paham. Tetapi tolong pikirkan tentang Tung Chih, Yang Mulia.”
Aku menatapnya dan mengangguk.
“Biarkan aku pergi dan meluruskan masalah ini demi Tung Chih,” ucapnya.
“Tidak aman bagimu untuk pergi.” Aku jadi sangat cemas, dan mulai berbicara cepat. “Aku memerlukan perlindunganmu di sini ' “
Yung Lu menjelaskan bahwa dia sudah menyiapkan semuanya, dan bahwa aku akan aman.
Aku tak sanggup mengucapkan katakata perpisahan.
Tanpa menoleh padaku, dia memohon maaf dan segera beranjak pergi.
4
SAAT ITU MUSIM SEMI pada 1868, dan hujan merendam tanah. Bunga tulip biru yang tumbuh di tamanku membusuk. Usiaku tiga puluh empat tahun. Malam-malamku dipenuhi oleh bunyi nyanyian jangkrik. Bau dupa memenuhi Kuil Istana, tempat tinggal para selir senior. Sangat aneh bahwa aku belum juga mengingat semua nama mereka. Kunjungankunjungan yang dilakukan semata seremonial di dalam Kota Terlarang ini. Para wanita menghabiskan waktu mereka mengukir labu, membiakkan ulat sutra, dan menyulam. Gambargambar anak kecil muncul di hasil sulaman tangan mereka, dan aku terus mendapatkan pakaian yang dibuat untuk putraku oleh para wanita ini.
Istriistri muda suamiku, Putri Mei dan Putri Hui, pernah disebutkan terkena jampijampi rahasia. Mereka berbicara seperti orang mati, dan meyakini bahwa kepala mereka terbenam air hujan sepanjang musim. Untuk membuktikan perkataannya, mereka mencopot hiasan kepala mereka dan menunjukkan pada kasim betapa air telah merembes masuk ke dalam akarakar rambut mereka. Putri Mei dikatakan begitu terpesona oleh gambaran kematian. Dia memesan seprai tempat tidur baru dari kain sutra putih dan menghabiskan waktu mencucinya sendiri. “Aku ingin terbungkus kain ini saat aku mati,” ujarnya dengan suara dramatis. Dia melatih kasimkasimnya untuk membungkus tubuhnya dengan kain itu.
Aku menghabiskan makan malam sendirian usai audiensi hari itu. Aku sudah tak lagi menaruh perhatian pada parade hidangan mewah dan langsung menyantap dari empat mangkok yang disediakan Antehai di hadapanku. Biasanya makanan yang terhidang adalah sayurmayur, kacangkacangan, ayam saus kecap, dan ikan kukus. Sering kali aku akan berjalanjalan usai makan malam, tetapi kali ini aku langsung pergi tidur. Kuberitahukan Antehai untuk membangunkanku dalam waktu satu jam karena masih ada tugastugas penting yang perlu kukerjakan.
Cahaya bulan saat itu sangat terang dan aku bisa membaca tulisan kaligrafi dari puisi abad kesebelas yang tercetak di dinding:
Seberapa banyak dera banjir dan badai
dapat dilalui oleh semi
Sebelum ia harus kembali menuju asalnya?
Orang akan takut
Kembang semi akan gugur terlalu dini.
Ia telah menjatuhkan
Kelopaknya
Tak terhitung.
Aroma rerumputan menyebar
Sejauh hamparan cakrawala.
Keheningan dedaunan semi hanya tertinggal sementara.
Sarang labalaba bertahan
Namun semi itu sendiri tak akan tinggal.
Bayangbayang Yung Lu melintas di benakku dan aku memikirkan di mana dia kini berada dan apakah dia aman.
“Tuan Putri,” suara bisikan Antehai terdengar, “teaternya sudah penuh sebelum pertunjukannya sendiri dimulai.” Menyalakan lilin, kasimku mendekat. “Kehidupan pribadi Yang Mulia sudah menjadi bahan pembicaraan di kedai-kedai teh seantero Peking.”
Aku tak ingin terusik oleh berita itu. “Pergilah, Antehai.”
“Gosip yang beredar itu mengungkapkan tentang Yung Lu, Yang Mulia.”
Hatiku bergetar, tetapi aku tak bisa mengatakan bahwa aku tak pernah mengantisipasinya.
“Matamataku menyebutkan bahwa putra mahkota-lah yang membangkitkan gosip ini.”
“Mustahil.“
Sang kasim berjalan mundur ke arah pintu. “Selamat malam, Tuan Putri.”
“Tunggu.“ Aku menegakkan dudukku. “Apa kau mengatakan bahwa anakku dalangnya?”
“Itu hanya gosipnya, Yang Mulia. Selamat malam.”
“Apa Pangeran Kung punya peranan dalam hal ini?”
“Aku tak tahu. Kupikir Pangeran Kung bukanlah dalang di balik gosip yang beredar, tetapi dia juga tidak berusaha meredakannya.”
Rasa takut tibatiba menyergapku.
“Antehai, maukah kau tetap di sini dulu?”
“Tentu, Tuan Putri. Aku akan tetap di sini hingga Anda tertidur. “
“Anakku membenciku, Antehai.”
“Bukan diri Anda yang dibencinya. Akulah yang dibencinya. Lebih dari satu kaii, Baginda Kaisar bersumpah akan memerintahkan pembunuhanku.”
“Itu tak berarti apaapa, Antehai. Tung Chih hanya seorang anak kecil.”
“Aku juga mengatakan hal yang sama pada diriku sendiri, Yang Mulia. Tetapi jika melihat sorot matanya, aku tahu bahwa dia bersungguhsungguh. Aku takut padanya.”
“Aku juga begitu, padahal aku adalah ibunya sendiri.”
“Tung Chih bukan lagi seorang anak kecil, Yang Mulia. Dia sudah mulai melakukan halhal yang biasa dilakukan lelaki dewasa.”
“Yang biasa dilakukan lelaki dewasa? Apa maksudmu?”
“Aku tak bisa mengatakannya lagi, Yang Mulia.”
“Tolonglah Antehai, lanjutkan.”
“Aku belum punya faktafaktanya.”
“Katakan padaku apa pun yang kauketahui.”
Kasimku memohon padaku untuk diperbolehkan tutup mulut sebelum dia memperoleh informasi lebih lanjut. Tanpa menunggu lebih lama, dia pergi.
Sepanjang malam aku memikirkan putraku. Aku mulai mencurigai bahwa Pangeran Kung telah memanipulasi Tung Chih untuk membalasku. Berita yang datang menyebutkan bahwa usai Kung meminta maaf atas perilakunya, dia mengakhiri persahabatannya dengan Yung Lu. Mereka berdua telah berselisih pendapat tentang kasus jenderal Sheng Pao.
Aku tahu Tung Chih masih dicekam kebingungan dan amarah karena perlakuanku terhadap pamannya. Pangeran Kung adalah sosok terdekat seorang Ayah yang bisa dia dapatkan, dan dia menyesali dirinya sendiri ketika harus membacakan dekrit keputusan itu di depan pamannya dan seluruh Dewan Istana. Tung Chih mungkin belum terlalu memahami maksud di balik kata-kata yang dibacanya, tetapi dia tidak dapat melupakan sorot mata pamannya yang penuh rasa malu saat dia segera mengalihkan mukanya. Aku tahu anakku menyalahkan diriku atas hal ini dan akan banyak lagi hal lainnya.
Tung Chih menghabiskan lebih banyak waktu bersama putra Kung, Tsai-chen. Aku lega mengetahui mereka bisa membebaskan diri dari tekanan-tekanan Kerajaan dengan keberadaan satu sama lain, betapapun singkatnya. Dalam bayanganku, aku ikut serta dalam perjalanan mereka menyusuri taman-taman dan pekarangan istana yang lebih jauh. Semangatku naik saat melihat kepulangan mereka, dengan wajah tampak kemerah-merahan. Aku merasakan sikap kemandirian yang lebih besar mulai tumbuh pada diri anakku. Namun, aku mulai berpikir apakah itu sesungguhnya perasaan kemandirian yang nyata ataukah hanya usahanya menghindar dari diriku, ibunya, yang dia hubungkan dengan kewajiban-kewajiban audiensi yang melelahkan—orang yang menyuruhnya melakukan hal-hal yang tak dia inginkan.
Aku tak tahu bagaimana caranya untuk mengakhiri rasa marahnya kecuali dengan meninggalkannya sendiri, dan berharap masa ini akan lewat dengan sendirinya. Semakin lama, kami hanya berkesempatan untuk bertatap muka pada saat audiensi, yang hanya menambah rasa sepiku dan menjadikan malam-malamku terasa semakin panjang. Pikiranku semakin sering melayang kembali pada selir-selir lama dan para janda di Kuil Istana, memikirkan apakah takdir mereka sebenarnya lebih sulit dijalani daripada hidupku ini.
Demi melindungiku, Yung Lu berpindah ke sudut terjauh dari kerajaan. Aku sudah menjadi bahan cemoohan dan kesalahpahaman semenjak hari pertama aku melahirkan Tung Chih, jadi aku sudah terbiasa. Aku tak berharap rumor dan mimpi-mimpi buruk itu akan berhenti hingga saat Tung Chih telah menjalani upacara resmi kenaikan takhta.
Satu-satunya impian sejatiku hanyalah untuk mewujudkan kehidupanku sendiri, satu kemungkinan yang kutakuti makin tampak mustahil. Demi masa depan putraku, aku tak bisa berhenti dari tugas-tugasku sebagai Wali. Namun untuk terus tinggal, sama artinya dengan menceburkan diri dalam konflik-konflik yang penyelesaiannya tak pernah ada. Aku penasaran kehidupan seperti apakah yang dijalani Yung Lu di medan tempur. Aku sudah berkehendak untuk menghentikan diriku dari memimpikan kehidupan kami sebagai sepasang kekasih, tetapi perasaanku terus saja mengkhianatiku. Ketidakhadirannya menjadikan proses audiensi makin terasa berat.
Mengetahui diriku tak akan pernah bisa berada dalam pelukan Yung Lu, aku sangat mencemburui mereka yang bibirnya bisa menyebutkan namanya. Dia adalah bujangan paling tenar di seantero Cina, dan setiap gerakgeriknya selalu diamati. Aku bisa bayangkan ambang pintu rumahnya pasti sudah hampir ambruk saking seringnya digedor oleh para mak comblang.
Untuk menghindari rasa frustrasi, aku berusaha menyibukkan diri dan terus memelihara persahabatan. Aku menghubungi Jenderal Tseng Kuofan untuk mendukung strateginya menggagalkan pemberontakan petani Taiping. Atas nama anakku, aku mengucapkan selamat atas setiap kemenangannya.
Kemarin aku menghadirkan satu audiensi bagi seorang pemuda penuh bakat, murid sekaligus rekan Tseng Kuofan, Li Hungchang. Li adalah pemuda Cina berbadan tinggi dan tampan. Aku tak pernah mendengar Tseng Kuofan memuji seseorang sebelumnya sebagaimana dia memuji Li Hungchang, dengan menyebutnya “Li Pemuda Tak Terkalahkan”. Kali pertamanya kudengar aksen Li, aku bertanya apakah dia berasal dari Anhwei, provinsi asalku. Betapa gembiranya aku mengetahui itu memang daerah asalnya. Berbicara dengan dialek provinsinya, dia mengatakan padaku bahwa asalnya dari Hefei, tempat yang dekat dari Wuhu, kota kelahiranku. Dalam perbincangan kami, kuketahui bahwa dia adalah seorang yang sukses dari usahanya sendiri, sama seperti gurunya, Tseng.
Aku mengundang Li Hungchang menghadiri opera Cina di teaterku. Tujuan utamaku sesungguhnya adalah untuk mencari tahu lebih dalam mengenai dirinya. Li memiliki latar belakang sebagai ilmuwan, tetapi dia merintis awal kariernya sebagai tentara sebelum kemudian menjadi jenderal. Sebagai pebisnis ulung, dia sudah menjadi salah seorang terkaya di negara. Dia memberi tahuku bahwa bidang terbaru yang kini digelutinya adalah diplomasi.
Aku bertanya apa yang sebelumnya dia lakukan sebelum memasuki Kota Terlarang. Dia menjawab bahwa dia tengah membangun satu rel kereta yang suatu saat akan membentang di sepenjuru Cina. Aku berjanji akan hadir pada acara peresmian jalur relnya; sebagai gantinya, aku bertanya apakah dia bisa memperpanjang jalurnya hingga ke Kota Terlarang. Dia jadi begitu bersemangat dan berjanji akan membangunkan untukku sebuah stasiun.
Jalinan pertemananku dengan orangorang dari luar lingkar Istana meresahkan Pangeran Kung. Jarak di antara kami kembali melebar. Kami berdua tahu bahwa pertentangan di antara kami bukan disebabkan karena menjalin hubungan dengan sekutu yang memiliki banyak potensi—mengingat dia sendiri memiliki keinginan yang sama denganku—melainkan karena kekuasaan itu sendiri.
Aku tak bermaksud menjadi rival seseorang, terutama rival bagi Pangeran Kung. Meski bingung dan merasa tertekan, kusadari bahwa perbedaan di antara kami sudah sangat mendasar dan mustahil untuk disatukan. Aku bisa pahami kekhawatiran Pangeran Kung, tetapi aku tak bisa membiarkan dirinya memimpin negara dengan caranya. Pangeran Kung bukan lagi sosok berpikiran terbuka dan berhatiluas sebagaimana yang kukenal pada kali pertama bertemu dengannya. Pada masa lalu, dia telah menunjuk orangorang untuk menduduki satu jabatan berdasarkan kemampuannya dan menjadi seorang pendukung terkuat terhadap upaya untuk menyertakan orang-orang dari kaum Cina lebih banyak lagi. Dia mempromosikan tidak saja orangorang Cina Han, tetapi para pegawai asing, seperti Robert Hart yang berkebangsaan Inggris, yang selama bertahuntahun telah bertanggung jawab terhadap layanan bea cukai. Namun, ketika kaum Cina Han mengisi mayoritas kursi di pemerintahan, Pangeran Kung mulai resah dan pandangannya pun berubah. Koneksiku dengan orangorang seperti Tseng Kuofan dan Li Hungchang hanya memperburuk masalah.
Pangeran Kung dan aku juga berbeda pandangan terkait Tung Chih. Aku tak tahu bagaimana Pangeran Kung membesarkan anaknya, tetapi kusadari—dengan sangat jelas—bahwa Tung Chih masih bocah ingusan. Di satu sisi, aku berharap Pangeran Kung bisa lebih tegas agar Tung Chih dapat mengambil manfaat dari memiliki sosok pengganti ayahnya. Namun di sisi lain, aku ingin Pangeran berhenti meremehkan anakku di hadapan Dewan Istana, “Tung Chih mungkin secara karakter lemah,” ucapku pada kakak ipar, “tetapi dia dilahirkan untuk menjadi Kaisar Cina.”
Pangeran Kung mengajukan proposal resmi agar Dewan Istana membatasi kekuasaanku. “Melanggar batas lelakiwanita” disebut sebagai kejahatanku. Aku sanggup memaatahkan gerakan itu, tetapi jadi semakin sulit untuk mengisi jabatan dengan orangorang dari nonManchu. Sikap antiHan Pangeran Kung mulai mendapatkan pengaruh negatif.
Para menteri Cina Han memahami kesulitanku dan berusaha membantuku sebisa mungkin, termasuk menelan hinaan dari rekanrekan Manchu mereka. Tak adanya rasa hormat yang kusaksikan setiap harinya benarbenar meremukkan hatiku.
Saat Pangeran Kung mendesak kepada para audiensi agar aku segera mempekerjakan kembali orangorang Manchu yang dulu telah gagal dalam tugasnya, aku pergi meninggalkan audiensi. “Orangorang Manchu seperti kembang api rusak yang tak bisa meledak!” adalah perkataanku yang diingat oleh orangorang. Dan sekarang perkataan itu digunakan untuk melawan anakku.
Konsekuensinya harus kutanggung: aku kehilangan kasih sayang anakku. “Kaubuat Paman Pangeran Kung jadi korban!” teriak putraku.
Aku berdoa pada Langit untuk menganugerahiku kekuatan karena aku yakin akan apa yang kulakukan. Aku ingin menyadarkan Pangeran Kung bahwa dia tak akan pernah bisa menghentikanku. Aku selalu mengatakan pada diriku sendiri bahwa tak ada yang perlu kutakutkan. Aku telah memimpin negeri ini tanpa dirinya dan akan terus melanjutkannya sebagaimana seharusnya.”
5
MASA PEMERINTAHAN PUTRAKu disebut sebagai “Masa Kebangkitan Tung Chih yang Agung”, meski tak ada jasa Tung Chih yang patut mendapatkan pujian. Jenderal Tseng Kuofan adalah orang yang membawakan keagungan itu. Dia telah berperang melawan kekuatan pemberontak Taiping sejak 1864. Pada 1868, dia berhasil menumpas sebagian besar dari kekuatan musuh. Karena Tseng merupakan pilihanku, kalangan dalam Istana menyebutku “Sang Buddha Tua” atas kebijaksanaanku.
Merasa berterima kasih pada Jenderal Tseng, aku memberikannya promosi. Betapa terkejutnya aku ketika dia menolaknya.
“Bukannya aku tak mau diberi penghargaan,” Tseng menjelaskan dalam suratnya padaku. “Aku sungguh berterima kasih. Namun, yang tak kuinginkan adalah ketika dilihat rekanrekanku sebagai simbol kekuasaan. Aku cemas jika kenaikan peringkatku akan mengenyangkan orangorang yang haus kekuasaan di pemerintahan. Aku ingin agar semua Jenderal di sekelilingku merasa setingkat dan nyaman. Aku ingin agar prajuritku menganggapku sebagai salah seorang dari mereka, berjuang demi satu tujuan, bukan untuk kekuasaan atau mendapatkan hak istimewa.”
Dalam jawabanku, kutulis: “Sebagai Wali Kaisar, yang diinginkan oleh Nuharoo dan aku, adalah melihat terwujudnya ketertiban dan kedamaian, dan tujuan ini tak akan tercapai tanpa peranmu sebagai pemimpin. Sampai kauterima promosi ini, kami tak akan bisa merasa tenang.” Dengan enggan, Tseng Kuofan akhirnya menerimanya.
Sebagai Gubernur Senior yang bertanggung jawab atas provinsi Jiangsu, Jianghsi, dan Anhwei, Tseng Kuofan menjadi orang Cina Han pertama yang memiliki pangkat sejajar dengan Yung Lu dan Pangeran Kung.
Tseng bekerja tak kenal letih, tetapi tetap bersikap terlalu hatihati. Dia menjaga jarak dengan pusat kekuasaan. Kecurigaannya merupakan hal yang wajar. Dalam berbagai kejadian sepanjang sejarah Cina, seberapa pun besarnya kekuatan seorang Jenderal atas penghargaan yang diterimanya, akan muncul banyak orang yang ingin menghabisinya. Kasus seperti ini sangat umum terjadi ketika Penguasa cemas melihat sang jenderal telah memiliki kekuasaan melebihi mereka.
Tung Chih mulai terpengaruh oleh sikap pamannya, Pangeran Kung, terhadap kaum Han. Aku memohon pada mereka berdua untuk melihat dari perspektif berbeda dan membantuku untuk memperoleh kepercayaan Tseng Kuo fan kembali. Aku berpikir jika Tseng dapat menciptakan stabilitas, anakkulah yang akan memperoleh manfaatnya.
Atas nama Tung Chih, aku membiarkan Tseng Kuofan tahu bahwa aku akan menjamin keselamatannya. Saat Tseng mengemukakan keraguannya, aku berusaha meyakinkannya—aku berjanji takkan mundur dari kekuasaan hingga putraku cukup matang untuk memangku takhta. Kuyakinkan Tseng bahwa akan aman baginya untuk mengambil tindakan apa pun yang dirasanya tepat. Dengan dorongan dariku, sang Jenderal mulai merencanakan peperangan dengan cakupan yang lebih luas dan dengan target yang lebih ambisius. Mengumpulkan kekuatan tentaranya dari Utara, dia bergerak perlahan menuju Selatan sampai dia memusatkan markas di dekat Anking, sebuah kota yang penting secara strategis di Anhwei. Tseng Kuofan kemudian memerintahkan saudaranya, Tseng Kuoquan, untuk menempatkan pasukannya di luar Ibu Kota Taiping di Nanking.
Antehai membuatkanku peta untuk membantuku memvisualisasikan pergerakan Tseng. Peta itu tampak bagai lukisan indah. Antehai menaruh benderabendera kecil berwarnawarni di atasnya. Kulihat Tseng mengirim Jenderal Manchu Chou Tsungtang ke Selatan untuk mengepung Kota. Hangchow di Provinsi Chekiang. Jenderal Peng Yulin ditugaskan untuk memblokade tepi Sungai Yangtze. Li Hungchang, orang kepercayaan Tseng Kuofan, diberikan tugas memblokir jalur pelarian diri musuh dekat Soochow.
Benderabendera di peta berubah warna tiap harinya. Sebelum memasuki Tahun Baru 1869, Tseng meluncurkan serangan utama, membungkus Taiping seperti kue pastel. Untuk mengamankan posisinya, dia menarik kekuatan pasukan dari Utara Yangtze. Sebagai penutupan akhir, dia bekerja sama dengan Yung Lu. Tentara di bawah komando Yung Lu datang dari belakang untuk memotong garis persediaan Taiping.
“Pengepungannya luar biasa rapat,” ujar Antehai, membusungkan dadanya dan meniru pose Tseng. “Nanking sudah jatuh!”
Kupindahkan benderabendera kecil itu layaknya pion-pion di atas papan catur. Ini jadi satu kesenangan buatku. Dengan melihat pergerakan Tseng Kuofan, aku bisa mengikuti jalan pikirannya dan kagum atas kecemerlangan otaknya.
Berharihari aku duduk di depan peta, melahap makananku di sana sembari terus menyimak beritaberita peperangan. Dari laporan terbaru, kuketahui bahwa pemberontak Taiping telah menarik mundur kekuatan terakhirnya dari Hangchow. Secara strategi, itu adalah kesalahan fatal. Li Hungchang segera menangkap sisasisa pasukan di Soochow. Rekan Li, Jenderal Chou Tsungtang masuk dan mengambil alih Hangchow. Para pemberontak kehilangan basis mereka. Dengan seluruh kekuatan kerajaan mengepung mereka, Tseng Kuofan mengambil alih.
Tung Chih gembira, sementara aku dan Nuharoo menangis terharu saat laporan atas kemenangan akhir itu mencapai Kota Terlarang. Kami menaiki tandu dan pergi ke Altar Surgawi untuk memberitahukan berita gembira ini pada arwah Hsien Feng.
Sekali lagi atas nama Tung Chih, kukeluarkan dekrit penghargaan atas jasa Tseng Kuofan dan rekanrekannya sesama Jenderal. Beberapa hari kemudian, kuterima laporan terperinci dari Tseng, mengonfirmasi kemenangan yang diraih. Kemudian Yung Lu kembali ke ibu kota. Kami berbagi kegembiraan dalam sikap kaku kami. Dengan kehadiran dayangdayang dan Antehai menatap kami, Yung Lu memberitahukan perannya dalam peperangan dan memuji kepemimpinan Jenderal Tseng. Menunjukkan kekhawatirannya, dia memberi tahuku bahwa Tseng akhir-akhir ini telah kehilangan sebagian besar penglihatannya disebabkan infeksi mata serius. Penanganan yang terlambat makin memperburuk kondisinya.
Kupanggil Tseng Kuofan untuk menghadiri audiensi pribadi bersamaku segera setelah dia kembali ke Peking.
Berbalut jubah longgar sutranya dan topi dengan ekor burung meraknya, jenderal Cina itu bersimpuh ke depan kakiku. Keningnya tetap menempel di atas lantai untuk menunjukkan rasa terima kasihnya. Selagi dia menungguku untuk berucap “bangkit”, aku sendiri bangkit berdiri dan membungkuk ke arahnya. Kuabaikan etika; rasanya itulah hal yang sepantasnya kulakukan.
“Biarkan aku melihatmu baikbaik, Tseng Kuofan,“ ucapku dengan air mata menggenang. “Aku sangat senang kau kembali dengan selamat.'
Dia bangkit dan pergi duduk ke kursi yang disediakan Antehai.
Aku terkejut melihat dirinya tampak tak sebugar yang kuingat hanya selang beberapa tahun sebelumnya. Jubah megahnya tak dapat menyembunyikan keringkihannya. Kulitnya tampak kering terbakar dan alis matanya yang lebat memutih bagai bolabola salju. Usianya sekitar enam puluh tahun, tetapi gundukan kecil di punggungnya membuatnya tampak sepuluh tahun lebih tua.
Setelah teh disuguhkan, kuajak dia mengikutiku ke ruang tamu, yang di sana dia bisa duduk lebih nyaman. Dia tak mau beranjak sebelum kukatakan padanya bahwa diriku letih duduk seharian di atas kursi yang ukirannya membuat punggungku sakit. Aku tersenyum sambil mengatakan bahwa furnitur indah di balairung hanya bagus digunakan untuk pertunjukan.
“Begini Tseng Kuofan, aku hampir tak bisa mendengarmu.” Kutunjukkan jarak yang terbentang di antara kami. “Tidak mudah buat kita berdua. Di satu sisi, di anggap tak sopan bagimu untuk mengeraskan suaramu. Di sisi lain, aku tak mau tak bisa mendengarkanmu.“
Tseng mengangguk dan bergerak untuk duduk di dekatku, di sisi kiri bawahku. Dia tak tahu sebelumnya bahwa aku harus memaksa untuk bisa mengadakan pertemuan ini. Para klan Manchu dan Pangeran Kung mengabaikan permintaanku untuk mengadakan audiensi pribadi demi menghormati Tseng. Kutekankan bahwa tanpa jasa Tseng Kuofan, Dinasti Manchu sudah akan berakhir.
Nuharoo menolak memihakku saat aku mendatanginya untuk meminta dukungan. Sama seperti yang lain, dia mengabaikan jasa Tseng Kuofan begitu saja. Pada akhirnya, aku berhasil membujuknya untuk mendukung undanganku, tetapi beberapa jam sebelum pertemuan dilangsungkan, dia sekali lagi mengubah pikirannya.
Aku benarbenar marah.
Nuharoo akhirnya menyerah. Namun sembari mendesah, dia berujar, “Jika saja kau memiliki satu tetes darah ningrat mengalir dalam tubuhmu.”
Memang benar, aku tak memiliki darah ningrat setetes pun. Namun, itulah sebabnya yang membuatku merasa senasib dengan Tseng Kuofan. Memperlakukannya dengan penuh rasa hormat, sama artinya dengan menghormati diriku sendiri.
Negosiasiku dengan Klan Kerajaan berakhir dengan kompromi: Aku diizinkan bertemu dengan Tseng selama lima belas menit.
“Kudengar kau sudah kehilangan penglihatanmu. Apa itu benar?” tanyaku sambil menatap detak jam di dinding. “Boleh kutahu penglihatan mata mana yang bermasalah?”
“Penglihatan kedua mataku buruk,” jawab Tseng. “Mata kananku sudah hampir buta. Tetapi mata kiriku masih bisa melihat cahaya. Saatsaat tertentu, aku masih bisa lihat bayangan kabur.”
“Apa kau sudah pulih dari penyakitmu yang lain?”
“Ya, bisa dibilang begitu.”
“Kau sepertinya berlutut dan bangkit dengan leluasa. Apa tubuhmu masih cukup kuat?”
“Yah, tak sama seperti dulu.”
Bayangan untuk segera mengakhiri pertemuan itu membuatku kehilangan katakata. “Tseng Kuofan, kau telah bekerja keras demi Kerajaan.”
“Merupakan kebahagiaan bagiku bisa melayani Anda, Yang Mulia.”
Aku berharap bisa mengundangnya lagi suatu saat nanti, tetapi aku takut kelak tak dapat memenuhi janjiku.
Kami duduk dalam hening.
Sebagaimana yang dituntut oleh etika, Tseng menjaga kepalanya tetap rendah. Tatapannya dipakukan pada satu titik di permukaan lantai. Jepitan besi dari seragam jubahnya menimbulkan bunyi dentingan tiap kali dia mengubah posisi. Dia tampak mencarimencari posisi tepatku. Aku yakin dia tak mampu melihatku, meski dengan kedua mata terbuka lebar. Mencoba meraih cangkir tehnya, tangannya merabaraba udara. Ketika Antehai menating roti manis isi biji wijen, siku tangannya hampir menumpahkan bakinya.
“Tseng Kuofan, apa kauingat saat kali pertama kita bertemu?” aku berusaha membangkitkan keriangan di antara kami.
“Ya, tentu saja.” Lelaki itu mengangguk. “Itu empat belas tahun lalu... pada audiensi dengan Yang Mulia Kaisar Hsien Feng.”
Kukeraskan suaraku sedikit hingga yakin bahwa dia dapat mendengarku. “Kau tampak begitu kuat dengan badan besar. Alis matamu yang menyambung membuatku mengira kau sedang marah.”
“Benarkah begitu?” Dia tersenyum. “Dulu aku memang tak sabaran. Aku ingin sekali bisa memenuhi harapan Yang Mulia padaku.”
“Kau sudah membuktikannya. Kau telah meraih begitu banyak, jauh dari yang diperkirakan orang sebelumnya. Suamiku pasti akan bangga. Aku sudah mengunjungi altarnya untuk melaporkan berita yang kaubawakan untuknya.”
Tseng menundukkan wajahnya dan mulai menangis. Sejenak kemudian, dia mendongakkan kepalanya dan menatap ke arahku, berusaha melihat. Akan tetapi, cahaya di ruangan duduk ini terlalu remangremang, dan dia kembali menundukkan pandangannya.
Antehai kembali masuk dan mengingatkan pada kami bahwa waktu kami sudah habis.
Tseng menyiapkan diri untuk pamit.
“Habiskan tehmu,” ucapku lembut.
Selagi minum, kulihat gununggunung perak dan ombak lautan tersulam di jubahnya.
“Apa kau tak keberatan jika aku meminta tabibku untuk mengunjungimu?” tanyaku.
“Kau sungguh berbaik hati, Yang Mulia.”
“Berjanjilah padaku kau akan menjaga dirimu baik-baik, Tseng Kuofan. Aku berharap bisa berjumpa denganmu lagi. Tak lama dari sekarang, kuharap.”
“Tentu Yang Mulia, Tseng Kuofan akan berusaha sebaik mungkin”
Aku tak pernah menemuinya lagi. Tseng Kuofan meninggal kurang dari empat tahun kemudian. Pada 1873.
Menengok kembali ke belakang, aku merasa puas telah memberi penghargaan pada lelaki itu secara pribadi. Tseng telah membuka mataku kepada dunia yang luas di luar tembok Kota Terlarang. Dia tidak saja membuatku mengerti bagaimana bangsabangsa Barat mengambil manfaat dari Revolusi Industri dan menjadi makmur, tetapi menunjukkan bahwa bangsa Cina juga memiliki kesempatan untuk meraih kebesarannya. Pesan Tseng Kuofan kali terakhirnya pada Kerajaan adalah untuk membangun angkatan laut yang kuat. Prestasinya yang begitu luar biasa, kemenangannya menumpas pemberontakan Taiping, menerbitkan rasa percaya diri padaku untuk mewujudkan mimpi itu.
Sering Mengalami Kekalahan Slot? Mari Bergabung Di situs pohon 4d Dengan Persentasi Kemenangan Lebih Tinggi. pohon 4d Menyediakan Slot Paling Lengkap. #pohon 4d Agen Judi Slot, Casino, Tembak Ikan Dan Togel Online Tepercaya.
BalasHapus